Kretek: Masa Depan Pembangunan Kudus

Peninggalan Nitisemito berupa Omah Kembar di sisi barat Kali Gelis. Di atasnya masih ada jejak perusahaan rokok Bal Tiga yang mulai terdaftar mereknya 1908 dan beroperasi pada 1914. Diperkirakan, Bal Tiga mampu bertahan hingga tahun1940-an. Foto Zakki Amali.
UDARA kering menerpa kulit kaki. Kain sarung yang membalut tubuh kurus tak menutup seluruh kaki. Kulit di sekitar mata kaki merasakan terpaan keringnya udara pada tahun-tahun yang kulewati di sebuah pesantren di gang sempit.
Pada Kamis sore, perjalanan menuju makam-makam pendiri pesantren terasa lebih ringan. Bersama santri dan teman lainnya, udara kering hanya sesekali terasa. Dalam perjalanan melalui gang dan jalan sempit di sekitar Kota Tua Kudus atau Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus, terbersit rasa yang aneh. Tembok-tembok tebal menjulang tinggi menyerupai sebuah benteng. Entah membentengi dari apa dan siapa.
Satu dekade berlalu, tembok yang keras dan angkuh yang membayangi langkah menuju makam pendiri pondok saya mulai terjawab. Perlahan-lahan, manusia dan benda di balik tembok terlihat melalui pintu yang kadang-kadang terbuka saat sang pemilik masuk atau meninggalkan rumah.
Apa yang terjadi di balik tembok semakin tampak. Orang-orang di balik tembok, di antaranya teman saya sewaktu di sekolah menengah atas. Kesempatan memasuki rumah kunonya terjadi setelah masa-masa putih-abu-abu berlalu. Dalam sebuah kunjungan pejabat purbakala, saya ikut di dalamnya dan terkagum. 
Kunjungan itu, seolah menjawab rasa kepanasaran yang menggelayut di benak. Rumah joglo pencu yang seluruh bagiannya ditopang dari kayu berukir indah perpaduan motif dari kebudayan Tiongkok, Timur Tengah dan Barat. Ini adalah mutiara kebudayaan yang dibentengi dengan tembok tinggi dan tebal.
Rumah-rumah serupa bertebaran di sekitar kompleks Menara Kudus. Peneliti menyebut wilayah tersebut adalah Kudus Kulon. Pemisah antara dua kutub ideologis kulon dan wetan adalah Kali Gelis. Kudus Kulon pada era lama—mungkin pada masa penjajahan—dimaknai daerah berisi orang-orang taat (santri) dan pedagang. Di sisi Kudus Wetan berisi aristokrat yang “kotor”.
Persaingan dua kutub ideologis melahirkan patronase orang Kudus Kulon antipegawai pemerintahan. Patronase yang dipertahankan dan dibuktikan dengan kerja keras. Rumah-rumah joglo pencu adalah pembuktian patronase itu. Sikap sebagai santri dan pekerja keras melahirkan sistem nilai bernama Gusjigang (bagus akhlaknya, pintar mengaji dan suka berdagang).
Sistem nilai ini mewujud dalam nafas kehidupan orang Kudus. Garis batas imajiner antara kulon dan wetan kini telah hilang. Sistem nilai ini telah melewati masa yang panjang. Orang-orang Kudus ini telah menjadikan sistem nilai Gusjigang sebagai sebuah model dalam menjadi pribadi.
Rumah Adat Kudus atau Joglo Pencu di Museum Kretek. Foto Zakki Amali.

Kretek, Bisnis Andalan
Keberadaan rokok kretek memberikan warna baru dalam usaha-usaha para pribumi membangun kerajaan bisnisnya. Batik pernah hidup dalam detak perekonomian di Kudus Kulon. Tetapi pamornya diduga hilang usai kerusuhan antaretnis pribumi dan Cina pada 1918. Persaingan usaha batik antara pribumi dan Cina diduga ikut menjadi backgroud dari kerusuhan rasial pertama abad ke-20 di Indonesia.
Kretek menjadi primadona bisnis baru bagi orang Kudus. Kretek kini telah menjelma bagai kapal yang mengambangkan Kudus melewati masa-masa sulit dalam pergolakan zaman. Nitisemito muncul sebagai “raja kretek” di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II atau pada awal abad ke-20. Lance Castles (1982: 62) mengambarkan Nitisemito sebagai:

...Teladan terbaik penduduk asli yang kaya tetapi bukan aristokrat, perwujudan yang jarang terjadi pada masa kekuasaan Belanda.

Kemunculan kretek diduga kuat berasal dari tangan Haji Djamhari. Warga asli Kudus yang meninggal di Tasikmalaya pada 10 Juni 1962. Sebelum menghilang dari Kudus, dia adalah anggota Syarekat Islam (SI) Cabang Kudus. Tetapi setelah terjadi kerusuhan antaretnis, Djamhari menghilang dan berada di Jawa Barat hingga akhir usianya. Menghilangnya Djamhari terkait munculnya tuduhan yang mengarah keterlibatan SI dalam kerusuhan (Edy Supratno, 2015).
Campuran tembakau dan cengkih digunakan Djamhari untuk mengobati sakit asmanya dan memopulerkan kepada sahabat-sahabatnya pada tahun 1870 (Castles, 1982: 60). Pada abad ke-17, Castles memaparkan, sudah ada kebiasaan mencampur cengkih dengan tembakau, tetapi bukan ditujukan untuk pengobatan. Cara Djamhari mengobati sakitnya menjadi populer dan menjelma menjadi komoditas yang sangat menguntungkan.
Haji Djamhari, penemu rokok kretek. Diambil dari dokumentasi Edy Supratno. Foto Zakki Amali.
Sambutan pasar terhadap kretek sangat antusias. Nitisemito membangun kerajaan rokoknya dengan mendirikan pabrik bernama Bal Tiga. Hingga saat ini jejaknya masih dapat dijumpai di Jalan Sunan Kudus tepatnya di sebelah barat dan timur jembatan yang membentang di atas Kali Gelis yang membelah Kudus. Bal Tiga masih tampak pada atap bangunan kembar (Omah Kembar) kuna gaya Eropa. Jejak Corporat Social Responsibility (CSR) perusahaannya dijumpai dengan mudah di masjid-masjid di Jawa Tengah. Pada zamannya, dia dikenal sebagai Raja Kretek. Saat itu belum dikenal istilah CSR, tetapi Nitisemito telah mempraktikkan cara-cara dalam pengelolaan CSR.
Industri ini menjadi sumber penghidupan dan mata pencarian warga satu abad lebih. Warga Kudus, terutama kaum perempuan, merupakan dipekerjakan dalam jumlah besar untuk melinting rokok kretek. Zaman telah berubah dengan munculnya mesin-mesin pencetak rokok yang mampu menghasilkan jutaan batang permenit. Tetapi perusahaan rokok di Kudus tetap mempertahankan sigaret kretek tangan (SKT) pada satu sisi dan mengembangkan sigaret kretek mesin (SKM) pada sisi yang lain. Industri ini telah mengangkat dan membentengi warga Kudus dari ancaman kemiskinan.
Menopang Perekonomian
Industri rokok telah menopang perekonomian warga Kudus. Pada tahun 2013, jumlah industri rokok skala besar menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Kudus sebanyak 62 unit (34,35% dari 181 industri besar) dengan jumlah pekerja 75.137 orang (75,98% dari total pekerja 98.890 orang). Sangat masuk akal apabila kontribusi kretek paling besar dalam pembangunan Kudus. Industri pengolahan tembakau ini telah berlangsung nyaris seabad lebih jika dihitung sejak berdirinya kerayaan bisnis rokok Nitisemito pada tahun 1916. Kontribusinya pada daerah yang secara geografis kecil ini sangat besar. Rokok telah menopang perekonomian dan kehidupan ekonomi warganya.
Selama 2014, industri rokok besar menghasilkan 75,5 miliar batang atau naik 5,59% pada tahun 2013. Dari produksi itu, industri rokok menyumbang pemasukan negara dari cukai sebesar Rp 24,06 triliun atau naik 13,78% dari Rp 21,14 triliun pada tahun 2013. Jumlah produksi rokok dan cukai yang naik setiap tahun berimbas pada naiknya perolehan dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dijadikan modal bagi pembangunan Kudus. Tidak mengherankan jika citra Kudus sebagai Kota Kretek telah dikenal di seantero daerah di Indonesia.
Ketika mulai diberlakukan kebijakan pemerintah mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), Kudus merupakan daerah dengan penerimaan tinggi di Jawa Tengah. Pada 2013, penerimaan DBHCHT sebesar Rp 104,30 miliar. Pada 2014, menerima Rp 104,51 miliar (antarajateng.com). Pada 2015, Kudus mendapat alokasi DBHCHT sebesar Rp 118,21 miliar (solopos.com).
Dari data tiga tahun terakhir tersebut, perolehan DBHCHT selalu naik. Hal ini sesuai dengan pendapat pemerintah atas cukai hasil tembakau atau rokok yang dibayarkan perusahaan-perusahaan rokok di Kudus yang selalu naik setiap tahun. Kenaikan target cukai rokok setiap tahun dinaikkan sebagaimana falsafah cukai sebagai bentuk pengendalian terhadap rokok. Tetapi Pemkab Kudus tetap menerima dana bagi hasil sebagai konsekuensi sebagai daerah penghasil hasil tembakau. Dana itu digulirkan dalam program-program yang selaras dengan peraturan dan petunjuk mengenai penggunaan DBHCHT.
Kretek Sebagai Asas Pembangunan
Kudus membangun atau kalau dibalik jadi membangun Kudus sudah selaiknya mempertimbangkan aspek kretek dari sisi sejarah, sosial-seni-budaya, ekonomi dan politik. Landasan pembangunan Kudus modern diawali perkembangan kretek dari era sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Industri kretek telah ada pada awal abad ke-20 hingga abad ke-21. Keberadaannya menyumbangkan pundi-pundi rupiah bagi pemerintahan dan menjadi mata pencaharian utama bagi warga Kudus.
Museum Kretek. Foto Zakki Amali.
Dari sisi budaya, kretek telah menjadi brand bagi Kudus. Kudus Kota Kretek. Cengkih dan tembakau yang merupakan asal muasal kretek telah bertengger di Kudus. Seni instalasi yang mengambarkan cengkih berada di dekat alun-alun dan pendopo kabupaten, sementara daun tembakau berada di pintu masuk dan keluar Kudus di sisi selatan yang berbatasan dengan Demak. Landmark Kudus diperkuat dengan bangunan ala Hollywood yang bertulis Kudus Kota Kretek. Dua penanda kota ini telah masuk ke dalam alam bawah sadar warga dan pendatang mengenai citra Kudus sebagai penghasil rokok dan menunjukkan kontribusi yang luar biasa dari perusahaan rokok karena dua momumen kota itu dibangun dari dana perusahaan rokok.
Masa lalu dan masa kini bertautan di Kudus. Masa lalu kretek terkemas dalam sebuah museum dan masa kini tersaji di ruang publik. Pembangunan Kudus melaju di atas dua rel yang sejajar. Faktor kretek dalam pembangunan sudah saatnya jadi perhatian bersama.
Pemerintah sudah selaiknya mendukung perusahaan dalam mempertahankan produksi kretek. Dari sisi regulasi, belum ada peraturan daerah yang menyinggung soal kretek sebagai sebuah aset seperti ekonomi dan budaya. Unsur kretek dalam pembangunan seharusnya menjadi perhatian penting. Pengembangan Museum Kretek diarahkan pada sisi pengayaan isi materi. Dana APBD yang nilainya telah melebihi angka Rp 1 triliun perlu dialokasikan lebih banyak ke pengembangan museum.
Sudah diketahui khalayak bahwa kegiatan-kegiatan di Museum Kretek satu-satunya di Indonesia banyak diisi acara hura-hura seperti orkes dangdut. Pada tahun ini, kegiatan bernafas intelektual dan bernas menyangkut kretek hampir tak ada. Bisa jadi, ini terkait penganggaran yang minim dari dinas yang bertanggungjawab. Bisa jadi juga dalam proses pembahasan anggaran antara eksekutif dan legislatif tak dimunculkan dan diwacanakan perhatian besar terhadap pengemngan museum dari pengayaan materi.
Gerakan Kudus Membangun yang dimunculkan dalam lomba blog ini selaiknya dipertimbangkan dan direspon oleh pemerintah kabupaten. Aspirasi dari para blogger dari berbagai daearah yang meski lamat-lamat terdengar di telinga penguasa, perlu digaungkan agar bergulir menjadi wacana publik. Museum Kretek—salah satu instrumen—yang harus dikembangkan dengan laik dan memadai agar terwujud pembangunan kemanusiaan di Kudus yang sadar terhadap masa lalu dan masa kini. Kemajuan museum itu menandakan adanya perhatian besar dari kepala daerah dalam memperhatikan kretek sebagai pengungkit dan penopang perekonomian secara mikro dan makro.
Dana bagi hasil cukai memang besar, tetapi memiliki batasan-batasan yang telah diatur oleh Kementrian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/PMK.07/2009. Secara garis besar, penggunaan dana tersebut untuk peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, hingga pemberantasan barang cukai ilegal.
Pada Pasal 7 diatur mengenai pembinaan lingkungan sosial. Ruang lingkupnya dijabarkan dalam huruf a-f. Tiga huruf di antaranya terkait dengan pemberdayaan masyarakat di lingkungan industri hasil tembakau. Artinya, peluang pemerintah kabupaten untuk memanfaatkan dana guna mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran sangat besar.
Tetapi sayangnya, dari tahun ke tahun perancangan program tersebut tak maksimal. Hal ini dilihat dari fakta sisa anggaran DBHCHT setiap tahun jumlahnya sangat besar. Pada akhir tahun ini diperkirakan, anggaran tersebut yang tak terpakai sebesar Rp 117 miliar (berita.suaramerdeka.com)
Tampaknya program yang monoton setiap tahun menimbulkan kejenuhan di kalangan satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kejenuhan itu perlu diubah dengan pola pikir baru melalui program-program yang lebih kreatif. Tidak melulu menggelar pelatihan demi pelatihan, tetapi pendampingan usaha dalam jangka panjang. Program-program kreatif harus dimunculkan agar jargon ‘Kudus Membangun’ terwujud.

Para pengambil kebijakan perlu juga dibekali dengan wawasan mengenai pengelolaan DBHCHT yang bermanfaat dalam jangka panjang kepada masyarakat. Wargalah yang menjadi sasaran utama dana tersebut. Sejenuh apapun, jika tujuan dan arahnya untuk masyarakat, penggunaan dana tersebut harus dianggarkan semaksimal mungkin untuk pengembangan sumber daya manusia. Bukankah tantangan zaman saat ini pada sumber daya manusia? Sumber daya alam yang terbatas bukan lagi jawaban sebagai sumber perekonomian.
Negara-negara maju telah mendidik warganya agar mampu mengelola dan menghasilkan pendapatan dari kecerdasan dan kreatifitas. Pelatihan-pelatihan yang selama ini digelar perlu ditinjau ulang agar fokusnya pada kemampuan dasar manusia untuk berpikir kreatif terhadap segala hal agar dapat diubah menjadi uang.
Sudah selaiknya politik pembangunan di Kudus berasaskan kretek. Kretek sebagai penopang dan pengungkit daya saing daerah serta masyarakat. Kretek bukan sekadar mesin waktu yang memutar cerita dan gambar mengenai masa lalu. Kretek, kini telah menjadi pijakan pembangunan bagi masa depan Kudus yang sejahtera dan berdikari. []

Komentar